Selamapenyusuran Kali Ciliwung ternyata sepanjang 33 km itu yang sudah dinormalisasi baru 16 km," kata Basuki kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan seperti dikutip Detikcom, di Monas, Jakarta Pusat, Rabu (1/1). Daerah aliran sungai yang sudah dinormalisasi tidak tergenang banjir. Sementara itu, daerah yang belum dinormalisasi tergenang.
- Jakarta identik dengan istilah kota langganan banjir. Tiap kali hujan deras, beberapa daerah di Jakarta hampir selalu tergenang banjir. Salah satu penyebab utamanya adalah karena perilaku masyarakat yang sering membuang sampah sembarangan ke kali atau sungai, sehingga menghambat aliran air ketika hujan turun. Menurut Edi Sedyawati, dkk dalam Sejarah Kota Jakarta 1950-1980 1986, penyebab utama lain Jakarta selalu tergenang banjir adalah karena kondisi lingkungan Jakarta yang dialiri 10 sungai besar dengan sistem drainase yang kurang HM dalam Banjir Jakarta 2013, menuliskan jika banjir di Jakarta sudah ada sejak zaman Tarumanegara, tepatnya saat Raja Purnawarman memimpin kerajaan tersebut pada abad ke-5. Berikut sejarah banjir di Jakarta Banjir Jakarta di Zaman Kerajaan Tarumanegara Portal Informasi Indonesia Prasasti Tugu, salah satu dari tujuh prasasti bukti keberadaan Kerajaan Tugu yang ditemukan pada 1878 di Jakarta Utara menjadi bukti otentik jika banjir di Jakarta sudah ada sejak zaman Kerajaan Tarumanegara. Secara garis besar, prasasti tersebut berisikan pesan jika Raja Purnawarman pernah menggali Kali Chandrabhaga di daerah sekitar Bekasi dan Kali Gomati atau yang sekarang dikenal sebagai Kali Mati di Tangerang. Penggalian tersebut merupakan upaya mengatasi banjir. Sungai yang digali tersebut diharapkan bisa mengalirkan debit air, sehingga banjir di Jakarta kala itu bisa segera surut. Selain itu, penggalian kali ini juga ditujukan untuk kepentingan irigasi sawah juga Banjir Jakarta Buat Kawasan Elite Kemang Berubah Bak Sungai Kumuh... Banjir Jakarta pada 1621 Jakarta pada masa kolonial Belanda dikenal dengan sebutan Batavia. Saat itu, sebagian besar daerah Batavia masih berupa rawa dan hutan liar, sehingga sering tergenang banjir dari air beberapa sungai, terutama Kali Ciliwung yang meluap saat hujan deras. Banjir Jakarta pada 1621 merupakan banjir pertama di era kekuasaan VOC di Nusantara, tepatnya pada masa kepemimpinan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen. Saat itu banyak rumah warga yang terbuat dari kayu sehingga mudah hanyut ketika banjir melanda Batavia. Struktur jalannya pun masih belum beraspal sehingga sangat sulit untuk dilalui sepeda atau dokar. Sebenarnya, Belanda sudah pernah membangun kanal sejak dua tahun sebelum bencana banjir ini terjadi. Namun, usahanya gagal karena Belanda tidak mengetahui letak geografis dan struktur topografi Jakarta kala itu. Banjir Jakarta pada 1654 Saat Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker memimpin Batavia kala itu. Banjir besar kembali melanda Batavia. Penyebabnya karena hujan deras dan luapan air sungai, terutama Kali Ciliwung dan kiriman air dari hulu di Bueitenzorg atau Bogor. Kanal yang tersumbat oleh pasir membuat kanal tidak berfungsi saat banjir melanda. Joan Martsuycker telah membangun beberapa kanal tambahan, namun usahanya gagal karena kanal selalu dipenuhi sampah, lumpur dan pasir.
Berikutjawaban yang paling benar dari pertanyaan: Banjir terjadi di daerah Jakarta yang dialiri sungai Ciliwung Banjir yang terjadi di daerah Jakarta tersebut disebabkan oleh debit air Ciliwung meningkat, terjadi pendangkalan karena banyak sampah di aliran sungai Ciliwung, serta lahan di sekitar sungai Ciliwung sebagian besar kedap air kondisi ini dalam geografi termasuk pendekatan?
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Menurut Asdak 1995, Daerah Aliran Sungai DAS merupakan daerah yang dibatasi oleh punggung-punggung gunung dimana air hujan yang jatuh pada daerah tersebut akan ditampung oleh punggung gunung tersebut akan dialirkan melalui sungai-sungai kecil menuju aliran sungai utama. Berdasarkan PP No. 37 tentang pengelolaan DAS, Daerah Aliran Sungai juga meliputi wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai utama dan sungai-sungai kecil yang berfungsi untuk menampung dan mengalirkan air hujan menuju danau atau DAS memiliki karakteristik topografi, hidrologi, dan iklim yang beraneka ragam. Berbagai karakteristik tanah dan aktivitasnya juga berkaitan dengan erosi pada DAS. Oleh karena itu salah satu elemen yang berperan penting dalam pengelolaan DAS adalah kelakuan tanah dan dinamika airnya. Karena karakteristiknya yang beragam, perlu dilakukan pengelolaan DAS yang tepat sehingga berbagai kerusakan seperti erosi di daerah aliran sungai dapat dihindarkan. Ciliwung merupakan sungai yang terletak mengalir di wilayah DKI Jakarta, Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Bekasi, dan sekitarnya. Ciliwung tercatat memiliki panjang aliran utamanya mencapai 120 kilometer, sementara daerah tangkapan airnya aliran sungai seluas 387 km persegi. Daerah Aliran Sungai DAS Ciliwung memiliki nilai sangat strategis karena melintasi dua provinsi yaitu Jawa Barat dan DKI Jakarta, namun karena pesatnya kegiatan pembangunan di kedua provinsi tersebut, menyebabkan perubahan dan pengelolaan penggunaan lahan yang tidak tepat. DAS Ciliwung kini menjadi sorotan banyak pihak dan sering dikaitkan dengan terjadinya banjir di Jakarta, bahkan tingkat kerugian dari banjir tersebut cenderung meningkat setiap tahunnya. Banjir terjadi karena perubahan dan pengelolaan penggunaan lahan yang tidak tepat ditambah dengan curah hujan tinggi yang tidak mampu diserap oleh tanah karena sistem drainase yang buruk sehingga tidak mampu menampung kelebihan limpasan air. Cakupan ilmu tanah yang luas, bahkan berkaitan dengan erosi dan konsekuensi sedimentasinya maupun dengan dinamika air, membuatnya berperan penting dalam menunjang pengelolaan DAS, sehingga mungkin dapat dikatakan bahwa ilmu tanah harus menjadi salah satu pemeran utama dalam mengelola DAS khususnya DAS Ciliwung yang sedang kami bahas kali ini pembangunan di Daerah Aliran Sungai DAS Ciliwung membuat lahan pertanian di sekitar aliran sungai semakin berkurang. Hal ini diakibatkan oleh pembangunan lahan-lahan pertanian menjadi pemukiman warga. Tentu saja pembangunan tersebut akan berakibat pada berkurangnya resapan air. Apabila daerah resapan berkurang, maka bencana banjir akan mengancam daerah sekitar Sungai Ciliwung. Selain itu, alih fungsi lahan pertanian juga akan menurunkan luas lahan garapan juga menyebabkan gangguan keseimbangan hidrologi DAS yang ditandai dengan perbedaan debit air sungai yang sangat tinggi antara musim penghujan dan musim debit air sungai pada musim penghujan dan penurunan debit air sungai pada musim kemarau berpengaruh terhadap ketersediaan air irigasi yang selanjutnya berpengaruh terhadap luas lahan dan produktivitas usahatani yang menggunakan sistem irigasi. Peranan DAS sebagai sumber air dapat dilihat dari dua sudut pandangan, yaitu menyediakan air dengan panen air water harvesting dan dengan menjamin penghasilan air water yield. Jumlah air yang dapat dipanen tergantung pada jumlah aliran permukaan runoff yang dapat ditampung. Jumlah air yang dapat dihasilkan tergantung pada debit air tanah. Untuk meningkatkan peranan air infiltrasi dan perkolasi harus dicegah, sedang untuk meningkatkan penghasilan air kedua proses ini justru harus dilancarkan. Penghasilan air menjadi asa pengembangan sumber air di kawasan beriklim basah, karena panenan air membawa risiko besar peningkatan erosi dan memerlukan cekungan tambat yang terlalu luas sehingga tidak praktis dan memboroskan sumber air dengan pemanenan air dikhususkan untuk kawasan beriklim setengah kering atau kering. Di sini risiko erosi kecil atau terbatas dan juga karena jumlah air terbatas maka kalau diresapkan ke dalam tanah akan terbuang percuma karena tidak akan dapat mencapai tempat simpanan air tanah yang biasanya terletak dalam sekali. Sumber Persoalan DAS Ciliwung bukan hanya berfokus pada pengendalian air melainkan harus ada penopang agar curah air di sungai tersebut tidak meluap. Setidaknya, penanaman pohon di kawasan sungai tersebut diperbanyak untuk memperkuat daya serap aliran air. Selain itu pemerintah setempat tengah merencanakan pembangunan sumur resapan dan sumur injeksi untuk mengurangi risiko banjir di kawasan tersebut. 1 2 Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
bencanabanjir yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1815 hingga Februari 2017. Di DKI Jakarta sendiri terdapat beberapa sungai, salah satunya yaitu Sungai Ciliwung yang merupakan sungai paling berpengaruh di DKI Jakarta yang kerap menimbulkan banjir tiap tahunnya. Salah satu sungai yang seringkali meluap adalah Sungai Ciliwung.
N/A • 12 November 2020 1217 Sungai Ciliwung kerap dituding sebagai biang banjir Ibu Kota. Tuduhan ini bukan tanpa alasan karena banjir memang kerap terjadi dari luapan air Sungai Ciliwung. Berbagai upaya pencegahan banjir sudah dilakukan, mulai dari normalisasi hingga naturalisasi. Akankah usaha tersebut sudah berbuah hasil dan sudah sejauh mana perjalanan perbaikan Sungai Ciliwung? Leah Alexis Laloan
Jakarta- Sejumlah wilayah di Jakarta Selatan (Jaksel) dan Jakarta Timur (Jaktim) tergenang banjir pagi ini. Banjir akibat dari Sungai Ciliwung yang meluap. Banjir akibat dari Sungai Ciliwung yang
Fenomena banjir di DKI Jakarta bukanlah suatu hal yang baru terjadi akhir-akhir ini, melainkan sudah menjadi agenda tahunan ketika musim hujan tiba. Bahkan secara historis kejadian banjir sudah akrab di DKI Jakarta sejak zaman Kerajaan Tarumanegara, hal itu tertulis pada Prasasti Tugu yang menyebutkan adanya banjir dan penanggulangannya di DKI Jakarta pada abad kelima Masehi[1]. Enam kejadian banjir terbesar yang melanda DKI Jakarta adalah pada Januari sampai dengan Februari 1918, Januari 1979, Februari 1996, Februari 2007, Januari sampai dengan Februari 2013 dan Januari sampai dengan Februari 2020 [2]. Secara geologis, DKI Jakarta merupakan daerah cekungan dan tanahnya perlahan mengalami penurunan akibat pengambilan air tanah secara besar-besaran oleh masyarakat sehingga sungai yang bermuara di Teluk Jakarta tidak bisa mengalir lancar ke laut. Secara geomorfologi, DKI Jakarta merupakan dataran banjir yang terbentuk akibat proses sedimentasi ketika terjadi banjir. Selain itu, keberadaan 13 aliran sungai dari hulu yang melintasi provinsi ini menjadi akses bagi aliran air yang bersumber dari wilayah hulu untuk masuk ke wilayah DKI Jakarta [3]. Berdasarkan hal tersebut dapat dinyatakan bahwa pada hakikatnya secara historis dan topografis wilayah DKI Jakarta merupakan daerah rawan banjir. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika BMKG mengungkapkan bahwa salah satu faktor yang menjadi pemicu banjir paling dominan di DKI Jakarta adalah curah hujan ekstrem [4]. Pada Januari 2020, DKI Jakarta mengalami curah hujan terbesar dalam sejarah pencatatan rekor hujan dalam 150 tahun terakhir, yaitu diatas 300 milimeter perhari sehingga menyebabkan banjir di berbagai wilayah. BMKG menyatakan bahwa musim hujan pada 2020/2021 dimulai pada Oktober 2020 dengan puncak musim hujan terjadi pada bulan Januari sampai dengan Februari 2021 [5]. Pada rentang waktu tersebut, tidak menutup kemungkinan DKI Jakarta akan mengalami curah hujan ekstrem dan terjadi banjir. Terdapat tantangan tambahan yang dihadapi oleh pemerintah maupun masyarakat dalam menghadapi banjir pada 2020/2021 ini, yaitu banjir akan terjadi bersamaan dengan pandemi Covid-19. Setelah pengumuman kasus Covid-19 pertama di DKI Jakarta pada Maret 2020, jumlah orang yang terinfeksi Covid-19 meningkat secara signifikan dan DKI Jakarta dikategorikan sebagai zona merah Covid-19. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana menyatakan bahwa pemerintah wajib melakukan tanggap darurat ketika terjadi bencana, salah satunya adalah menyediakan posko pengungsian untuk korban bencana banjir. Posko pengungsian biasanya dibuat secara darurat untuk menampung banyak korban dengan jarak yang berdekatan. Pada saat proses penyelamatan dan evakuasi korban pun tidak mudah untuk melakukan jaga jarak antarorang. Ancaman dapat juga disebabkan dari berbagai penyakit yang timbul pada musim penghujan seperti demam berdarah, tifus, diare, dan penyakit kulit yang dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga masyarakat menjadi lebih rentan terinfeksi Covid-19 [6]. Sumber Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi DKI Jakarta [7] Wilayah yang dimaksud dalam diagram wilayah rawan banjir perkecamatan di DKI Jakarta di atas menunjukkan secara keseluruhan DKI Jakarta memiliki 82 wilayah/kelurahan yang rawan banjir. Dapat dilihat dari diagram di atas bahwa Jakarta Selatan memiliki kelurahan rawan banjir terbanyak yaitu 25 wilayah/kelurahan atau sebesar 30,49%. Jumlah ini disusul oleh Jakarta Timur dengan sebanyak 23 wilayah/kelurahan atau sebesar 28,05% wilayah rawan banjir; Jakarta Barat sebanyak 17 wilayah/kelurahan atau sebesar 20,73% wilayah rawan banjir; Jakarta Utara sebanyak 15 wilayah/kelurahan atau sebesar 18,29% wilayah rawan banjir; Jakarta Pusat sebanyak 2 wilayah/kelurahan atau sebesar 2,44% wilayah rawan banjir; dan yang terakhir adalah Kepulauan Seribu yang tidak memiliki wilayah/kelurahan rawan banjir. Jakarta Selatan memiliki wilayah rawan banjir terbanyak dari wilayah lainnya di DKI Jakarta karena sebagian besar wilayahnya dilalui oleh aliran sungai—seperti Kali Baru Timur, Kali Ciliwung, Kali Baru Barat, Kali Krukut, Kali Grogol, dan Kali Pesanggrahan—kerap mendapatkan banjir kiriman dari hulu, banyak sampah di aliran sungai, dan adanya penyempitan kali oleh bangunan [8]. Kepulauan Seribu tidak memiliki wilayah rawan banjir karena tidak terdapat aliran sungai dan air hujan langsung menuju ke laut. Jakarta Pusat berada di urutan terendah rawan banjir karena wilayah yang dialiri sungai hanya pada bagian barat dayanya saja. Setiap kabupaten/kota di DKI Jakarta, kecuali Kepulauan Seribu, memiliki kecamatan rawan banjir. Lima kecamatan yang memiliki kelurahan rawan banjir tertinggi pada masing-masing kota administratifnya adalah Kecamatan Cengkareng di Jakarta Barat, Kecamatan Mampang Prapatan di Jakarta Selatan, Kecamatan Makasar di Jakarta Timur, Kecamatan Penjaringan di Jakarta Utara, dan Kecamatan Tanah Abang di Jakarta Pusat. Sumber Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta [9] Diagram di atas menunjukkan terjadi peningkatan jumlah kasus Covid-19 di DKI Jakarta yang sangat signifikan dari Maret sampai dengan Desember 2020. Jumlah pasien terkonfirmasi positif Covid-19 di DKI Jakarta sampai dengan Desember 2020 adalah sebanyak kasus. Kasus Covid-19 terkonfirmasi di DKI Jakarta dimulai pada Maret 2020. Pada bulan tersebut jumlah orang yang terkonfirmasi positif Covid-19 adalah sebanyak 534 kasus. Persentase penambahan kasus positif Covid-19 pada April 2020 merupakan yang terbanyak dari bulan sebelumnya, yaitu meningkat sebesar 458% atau sebanyak kasus—dari 534 kasus menjadi kasus. Lonjakan kasus pada bulan April terjadi karena kapasitas pemeriksaan real time PCR sudah ditingkatkan dengan membangun Laboratorium Satelit Covid-19. Ditambah lagi dengan aksi Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta yang juga gencar melakukan pencarian kasus baru atau active case finding [10]. Selain itu, lonjakan kasus Covid-19 yang tinggi pada bulan April juga diduga karena pada bulan tersebut masih dalam fase awal munculnya pandemi ini di DKI Jakarta dan masih tahap awal sosialisasi mengenai penyebaran dan pencegahan virus tersebut secara masif sehingga masih terdapat masyarakat yang keliru atau belum memahami penyebaran serta pencegahan Covid-19. Sementara itu, jika dilihat dari jumlah penambahan kasus Covid-19 setiap bulannya maka bulan Desember memiliki angka yang paling tinggi dari pada bulan-bulan sebelumnya di tahun 2020, yaitu kasus. Tidak menutup kemungkinan jumlah kasus Covid-19 pun akan meningkat di bulan selanjutnya dan hal itu menjadi tantangan semua pihak dalam menghadapi banjir saat terjadi puncak hujan pada Januari sampai dengan Februari 2021. Sumber Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarat [9] dan Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta [11] Jakarta Timur merupakan wilayah dengan jumlah kasus positif Covid-19 terbanyak dari pada wilayah lain di DKI Jakarta. Hal tersebut dapat didukung oleh jumlah penduduk di Jakarta Timur terbanyak dari pada wilayah lainnya di DKI Jakarta pada tahun 2020. Namun, bila dilihat dari persentase jumlah kasus positif Covid-19 berdasarkan jumlah penduduk di tahun 2019 maka Jakarta Timur bukan menjadi wilayah dengan jumlah kasus positif Covid-19 terbanyak, melainkan berada pada posisi kedua terendah dengan persentase sebesar 0,67%. Wilayah yang paling banyak terdapat kasus positif Covid-19 berdasarkan jumlah penduduknya adalah Jakarta Pusat dengan persentase sebesar 2,88%, meskipun pada jumlah kasus positif Covid-19 berada di urutan kedua terendah. Pada Agustus 2020, Jakarta Pusat menjadi wilayah dengan kecepatan penularan Covid-19 tertinggi di DKI Jakarta. Hal itu terlihat dari angka Incidence Rate IR atau angka yang menggambarkan laju kasus baru pada populasi dan periode waktu tertentu mencapai 45,31 pada 23 Juli hingga 6 Agustus, sementara wilayah lainnya di DKI Jakarta tidak lebih dari angka 33 [12]. Sumber Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta [9] Berdasarkan wilayah rawan banjir di DKI Jakarta, Jakarta Pusat memiliki jumlah wilayah rawan banjir kedua terendah dari pada wilayah lainnya. Jakarta Pusat memiliki delapan kecamatan dan hanya satu kecamatan yang rawan banjir. Sementara itu, pada jumlah kasus positif Covid-19, Jakarta Pusat menempati urutan kedua terendah dengan jumlah kasus. Meskipun demikian, presentasi kasus Covid-19 berdasarkan jumlah penduduk, Jakarta Pusat menempati urutan teratas. Dinamika kasus positif Covid-19 di Jakarta Pusat terus bertambah dengan rata-rata penambahan pada setiap bulannya adalah sebanyak kasus. Penambahan kasus terkonfirmasi positif Covid-19 di Jakarta Pusat terbanyak terjadi di bulan Desember dengan jumlah kasus. Meskipun demikian, persentase penambahan kasus positif Covid-19 terbanyak dari bulan sebelumnya terjadi di bulan April, yaitu sebesar atau 536 kasus, dari 45 kasus di bulan Maret menjadi 581 kasus. Adapun salah satu faktor yang dapat menyebabkan tingginya kasus Covid-19 di Jakarta Pusat adalah banyaknya pemukiman padat penduduk, asrama, dan apartemen. Selain itu juga, penyebaran Covid-19 di Jakarta Pusat dapat disebabkan oleh kasus Covid-19 dari klaster perkantoran dimana terdapat 12 dari sebanyak 49 kantor di Jakarta Pusat yang ditutup karena ditemukannya kasus positif Covid-19 pada Agustus 2020 [13]. Sumber Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta [9] Kecamatan Tanah Abang memiliki wilayah rawan banjir terbanyak dibandingkan dengan kecamatan lain di Jakarta Pusat. Dari delapan kelurahan yang ada di Kecamatan Tanah Abang, dua diantaranya menjadi wilayah rawan banjir, yaitu Kelurahan Karet Tengsin dan Petamburan. Diagram jumlah kasus Covid-19 di Jakarta Pusat menunjukkan Kecamatan Tanah Abang menempati urutan kedua dari delapan kecamatan di Jakarta Pusat dengan jumlah kasus. Jumlah kasus terkonfirmasi Covid-19 di Kecamatan Tanah Abang terus meningkat dengan rata-rata peningkatan setiap bulannya sebanyak 324 kasus. Bulan September terjadi penambahan kasus terkonfirmasi positif Covid-19 terbanyak di Kecamatan Tanah Abang yaitu sejumlah 769 kasus. Meskipun demikian, persentase penambahan kasus positif Covid-19 terbanyak dari bulan sebelumnya terjadi di bulan April, yaitu sebesar atau 199 kasus, dari 5 kasus di bulan Maret menjadi 204 kasus. Berdasarkan data-data di atas, Kecamatan Tanah Abang perlu memiliki persiapan yang matang dalam menghadapi banjir 2020/2021 dari pada tahun-tahun sebelumnya agar tidak menciptakan klaster penyebaran Covid-19 karena banjir di wilayah tersebut. Meskipun jumlah kasus positif Covid-19 dan persentase berdasarkan jumlah penduduk Jakarta Barat berada pada urutan ketiga di DKI Jakarta, Kecamatan Cengkareng juga memerlukan persiapan yang matang dalam menghadapi banjir 2021 karena masuk ke dalam urutan pertama kecamatan yang memiliki kasus positif Covid-19 di Jakarta Barat. Sementara itu, Kecamatan Makasar, Mampang Prapatan, dan Penjaringan masuk pada urutan ketiga sampai keempat terendah yang memiliki kasus positif Covid-19 di masing-masing kotanya. Meskipun secara statistik berada di urutan yang rendah pada jumlah kasus positif Covid-19, ketiga wilayah tersebut tetap harus diperhatikan saat terjadi banjir di tengah masa pandemi. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan terus berupaya menyiapkan langkah-langkah preventif, seperti pelaksanaan proses evakuasi dan juga penerapan protokol kesehatan secara ketat pada saat masyarakat berada di posko pengungsian. Hal ini telah menjadi perhatian pemerintah agar tidak tercipta klaster baru penyebaran Covid-19 karena banjir di DKI Jakarta. Referensi [1] National Geographic Indonesia, “Sejarah Banjir di Jakarta, Sudah Terjadi Sejak Zaman Tarumanegara,” 27 Februari 2019. [Online]. Available [2] G. S. Putri, “Jakarta Banjir Lagi, Berikut 6 Sejarah Banjir Terbesar di Ibu Kota,” 25 02 2020. [Online]. Available [3] Harsoyo, “Mengulas Penyebab Banjir di Wilayah DKI Jakarta,” Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, pp. 37 – 43, 2013. [4] M. Arnani dan I. Wedhaswary, “Penjelasan Lengkap Penyebab Banjir Jakarta,” 03 Januari 2020. [Online]. Available [5] M. Ridwan, “Prakiraan Musim Hujan Tahun 2020/2021 di Indonesia,” 08 September 2020. [Online]. Available [6] M. Ridwan, “Prakiraan Musim Hujan Tahun 2020/2021 di Indonesia,” 08 September 2020. [Online]. Available [7] Badan Penanggulangan Bencana Daerah, “Daerah Rawan Banjir Provinsi DKI Jakarta,” 06 Oktober 2020. [Online]. Available [8] Antara, “Curah Hujan Tinggi, Sudin SDA Catat 21 Titik Banjir Jakarta Selatan,” 5 Oktober 2020. [Online]. Available [9] Dinas Kesehatan, “Riwayat File Covid-19 DKI Jakarta,” 2020. [Online]. Available https//riwayat-file [10] E. A. Retaduari, “Jakarta Kembali Cetak Rekor Angka Kasus Baru Corona 359 Kasus Per Hari,” 11 Juli 2020. [Online]. Available [11] Badan Pusat Statistik, “Jumlah Penduduk Hasil SP2020 Provinsi DKI Jakarta sebesar juta jiwa,” 11 Januari 2021. [Online]. Available [12] I. Hamdi, “Jakarta Pusat Jadi Wilayah Tercepat Penularan Covid-19 di DKI,” 13 Agustus 2020. [Online]. Available [13] CNN Indonesia, “Kasus Aktif Corona di Jakpus Tinggi, Klaster Kantor Penyebab,” 14 Agustus 2020. [Online]. Available SumberBadan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi DKI Jakarta, Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, dan Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Penulis Vicka Aghinasuci dan Ryan Dwi Saputra Editor Dwi Puspita Sari dan Gagar Asmara Sofa
TEMPOCO, Jakarta - Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengungkapkan bahwa berdasarkan pantauan melalui udara, banjir Jakarta terjadi di pesisir Sungai Ciliwung yang belum dilakukan normalisasi. "Mohon maaf pak Gubernur, dalam penyusuran Kali Ciliwung sepanjang 33 kilometer, yang sudah ditangani normalisasi 16 kilometer itu aman dari luapan (banjir).Mohon
Ciliwung merupakan sungai bersejarah yang sekaligus merupakan benteng alam Kerajaan Pajajaran [1482-1567] saat masih berdiri. Pengelolaan Ciliwung sudah ada sejak Kolonial Belanda berkuasa di Jawa. Bagi Belanda, merawat hulu Ciliwung sama halnya menjaga wibawa ibukota, Batavia, yang sekarang bernama Jakarta. Ciliwungmembentang dari hulu di Bogor, meliputi kawasan Gunung Gede, Gunung Pangrango, dan Cisarua lalu mengalir ke hilir di pantai utara Jakarta. Panjangnya 120 kilometer dengan luas Daerah Aliran Sungai [DAS] 387 kilometer persegi. Ciliwungmerupakan satu dari 15 sungai yang diprioritaskan pemulihannya oleh Pemerintah Indonesia. Selain Ciliwung, ada Sungai Asahan Toba, Siak, Musi, Sekampung, Cisadane, Citarum, Serayu, Solo, Brantas, Kapuas, Moyo, Limboto, Saddang, dan Jeneberang. Ciliwung adalah sungai bersejarah. Sejak dari jaman Kerajaan Pajajaran hingga masa Kolonial Belanda, sungai ini memainkan peranan penting bagi kehidupan masyarakat. Namun kini, Ciliwung tidak lagi dipuja. Setiap kali terjadi banjir di Jakarta, Ciliwung selalu dikaitkan sebagai penyebabnya. Bencana yang sesungguhnya terjadi akibat ulah manusia yang merusak Ciliwung dengan sampah, limbah, hingga merusak wilayah tutupan hijau sebagai areal resapan airnya. Berikut fakta unik Sungai Ciliwung yang dirangkum Mongabay Indonesia, dari berbagai sumber, guna memperingati Hari Sungai Ciliwung setiap 11 November. Sungai Ciliwung di wilayah Sempur, Bogor, yang terlihat bersih. Foto Anton Wisuda/Mongabay Indonesia Sungai bersejarah Dalam tulisannya di Mongabay Indonesia berjudul “Merawat Hulu Ciliwung, Menjaga Wibawa Hilir Ibukota”, Anggit Saranta menuliskan riwayat Ciliwung. Menurut sejarawan Bogor Saleh Danasasmita [1933-1986], Ciliwung merupakan satu dari empat benteng alam Kerajaan Pajajaran [1482-1567] saat masih berdiri. Kesultanan Banten yang berseteru dengan Pajajaran memerlukan waktu 40 tahun lebih untuk bisa menaklukan ibukota Pakuan [sekarang Bogor]. Ini dikarenakan adanya bentang alam yang menjadi pertahanan ibukota, yaotu dua sungai besar Ciliwung dan Cisadane, ditambah Gunung Salak dan Pangrango. Terkait pengelolaan Ciliwung, sejatinya sudah ada sejak Kolonial Belanda berkuasa di Jawa. Bagi Belanda, merawat hulu Ciliwung sama halnya dengan menjaga wibawa ibukota, Batavia, yang sekarang bernama Jakarta. Sebagai contoh, Bendung Katulampa merupakan upaya pembesar Hindia Belanda untuk melindungi Batavia dari serangan banjir besar Ciliwung. Bendungan karya insinyur Van Breen sepanjang total 74 m, dengan 5 pintu pembagi aliran dan 3 pintu penahan arus itu diresmikan Gubernur Jenderal Alexander Willem Frederik Idenburg, pada 11 Oktober 1912. Hingga kini, Bendungan Katulampa selalu menjadi perhatian, tiap kali hujan besar melanda kawasan Puncak dan Bogor. Terutama terkait status debit air Normal atau Siaga, sebagai antisipasi banjir di Jakarta. Baca Wawancara Eksklusif Bima Arya Terlalu Lama Kita Meninggalkan Ciliwung Penataan Sungai Ciliwung di wilayah Kelurahan Sukasari, Bogor, menjadi prioritas. Foto Anton Wisuda/Mongabay Indonesia Membentang luas Ciliwung membentang dari hulu di Bogor, meliputi kawasan Gunung Gede, Gunung Pangrango, dan Cisarua lalu mengalir ke hilir di pantai utara Jakarta. Panjangnya 120 kilometer dengan luas Daerah Aliran Sungai [DAS] 387 kilometer persegi. Sungai bersejarah ini pun dibagi tiga sub DAS. Ciliwung hulu seluas hektar [di wilayah Kabupaten Bogor dan Kota Bogor], Ciliwung tengah seluas hektar [di Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Depok, dan Bekasi], serta Ciliwung hilir seluas hektar [di DKI Jakarta]. Saat ini, kawasan hutan yang merupakan regulator alami tata kelola air tersisa di DAS Ciliwung diperkirakan hanya tersisa 9,7 persen atau seluas hektar. Padahal, bila bicara luasan ideal ruang hijau, harusnya sekitar 30 persen dari luas Ciliwung itu sendiri. Prioritas pemulihan Ciliwung merupakan satu dari 15 sungai yang diprioritaskan pemulihannya oleh Pemerintah Indonesia. Selain Ciliwung, ada Sungai Asahan Toba, Siak, Musi, Sekampung, Cisadane, Citarum, Serayu, Solo, Brantas, Kapuas, Moyo, Limboto, Saddang, dan Jeneberang. Anggaran yang disiapkan lebih dari Rp2 triliun. Angka tersebut termasuk proyek pemulihan 15 danau prioritas dan 65 bendungan. Baca Bebersih Ciliwung Bukan Hanya Kejar Rekor MURI Perubahan Penggunaan Lahan Kawasan Puncak 1990-2012 yang berpengaruh kepada Ciliwung. Sumber Presentasi Ernan Rustiadi/ P4W IPB Hilangnya ikan Kekhawatiran akan ancaman kepunahan ikan di Sungai Ciliwung terbukti. Berdasarkan penelitian LIPI, dari 187 jenis ikan yang ada, kini hanya sekitar 20 jenis tersisa. Atau, sekitar 92,5 persen telah punah akibat aktivitas manusia dan pencemaran yang terus terjadi. Data penelitian LIPI menyebutkan, sepanjang tahun 1910 hingga 2010, ikan seperti belida, soro, berot, nilam, tawes, putak, berukung, lele, brek, keperas, dan ikan hitam sudah tidak ditemukan lagi di Ciliwung. Sementara, spesies ikan lainnya seperti hampal, genggehek, dan baung semakin terancam. Agar ikan yang ada tidak tidak, kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah harus ditumbuhkan. Juga, pencemaran air yang terjadi akibat limbah industri pabrik harus dihentikan. Selain itu juga, diharapkan tidak ada pihak yang menebar ikan-ikan predator di Ciliwung yang bukan habitatnya, agar spesies asli tetap hidup. Sampah dan limbah Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, jumlah limbah rumah, sampah, limbah industri, limbah ternak, dan pencemaran dari pertanian yang ada di Ciliwung sebesar 54,4 ton BOD per hari. Sementara, kemampuan sungai menampung beban pencemaran hanya 9,29 ton BOD [Biological Oxygen Demand] per hari. Dapat dikatakan, Ciliwung telah melewati kemampuan daya dukungnya. Tantangan lain adalah adanya perubahan tata ruang dan tutupan lahan. Hal ini menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan yang menyebabkan meningkatnya kerentanan bencana banjir. Daerah sempadan sungai [riparian] dari Bogor, Depok, dan sebagian Jakarta Selatan yang merupakan 60 % dari total luas sempadan Ciliwung, sekitar 37,11 persen telah menjadi daerah terbangun kedap air. Baca Normalisasi untuk Cegah Banjir Ciliwung, Jalan Efektif atau Jadi Masalah Baru? Sungai Ciliwung tidak hanya dipenuhi sampah plastik, tetapi juga menghadapi masalah kotoran manusia yang dibuang langsung. Foto Indra Nugraha/Mongabay Indonesia Identik banjir Ciliwung selalu dikaitkan dengan persoalan bajir yang terjadi di Jakarta. Terkait bencana ekologis tersebut, penanggulangan juga harus dilakukan dengan pendekatan/perbaikan ekologi seperti pemulihan tutupan hijau resapan daerah aliran sungai/Watershed. Menurut Eko Kusratmoko, pakar geografi dan keteknikan dari Universitas Indonesia, seharusnya jarak sepuluh meter dari tepian Ciliwung tidak diperbolehkan untuk bangunan. Mengingat, kemiringan kali berisiko besar terjadinya longsor. Satu hal yang harus dipahami adalah sebagian besar wilayah Jakarta merupakan lahan basah berupa rawa, yang dialihfungsikan menjadi perumahan dan perkantoran. Fungsi utama rawa adalah pengatur dan penyimpan air, bukan sebagai daerah resapan. Sungai meluap yang mengakibatkan banjir adalah suatu proses alamiah siklus ekologi pada sungai. Ini terjadi ketika Jakarta juga mengalami banjir sejak zaman Batavia dulu. Persoalan saat ini adalah banjir semakin sering terjadi dengan daya rusak lebih besar. Luapan air sangat deras di Bendung Katulampa, Bogor, pada Rabu [1/1/2020] sore. Foto Anton Wisuda/Mongabay Indonesia Hari Sungai Ciliwung Setiap 11 November diperingati sebagai Hari Ciliwung yang telah digelar sejak tahun 2012. Ditetapkannya Hari Ciliwung tersebut berdasarkan penemuan dua ekor bulus atau sejenis kura-kura, pada 11 November 2011, yang menunjukkan eksistensi hewan endemik di Ciliwung harus dijaga habitat dan kehidupannya. Tanggal 11 November merupakan momen kepedulian kita bersama, untuk terus menjaga sekaligus membebaskan Ciliwung dari segala persoalan. Ciliwung sebagai sungai bersih, bermanfaat sekaligus meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, serta tidak mendatangkan banjir harus diwujudkan. Langkah perbaikan yang harus dilakukan itu, tidak berkutat pada istilah normalisasi atau naturalisasi Ciliwung. Artikel yang diterbitkan oleh bencana ekologis, featured, hak kelola, Hidupan Liar, jawa, jawa barat, kerusakan lingkungan, pencemaran, sampah, satwa air, sumber daya air
pvPe. jlf1t762ko.pages.dev/279jlf1t762ko.pages.dev/222jlf1t762ko.pages.dev/111jlf1t762ko.pages.dev/298jlf1t762ko.pages.dev/75jlf1t762ko.pages.dev/100jlf1t762ko.pages.dev/379jlf1t762ko.pages.dev/193jlf1t762ko.pages.dev/342
banjir terjadi di daerah jakarta yang dialiri sungai ciliwung